Terbang Menembus Langit Kairo


Alhamdulillah. Ucapan itulah yang keluar pertama kali melalui bibirku saat kaki ini menginjak tanah di atas bumi para nabi. Impian yang telah lama ku perjuangkan akhirnya bisa terwujud dengan izin Allah. Tak lupa pula ini juga berkat do'a dari orang tua dan seluruh keluarga, teman-teman yang di UIN Mataram, teman-teman yang di Padang, dan tak lupa juga teman-teman SD ku yang sejak kecil selalu menemani.

Sebelum bertolak ke Kairo, aku dengan teman-teman serombongan berkumpul di Tangerang tepatnya di depan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah. Rombongan kami bernama REHLATA dengan jumlah 90 orang yang akan diberangkatkan ke Kairo. Setelah berkumpul semua, kami langsung naik bus yang sudah disediakan menuju Bandara SOETTA. Setelah tiba di bandara, satu persatu tiket pesawat dibagikan kepada kami dan ternyata, oh Ya Rabb. Penerbangan ternyata menghabiskan waktu 15 jam. Berangkat tanggal 3 Januari dan tiba di Kairo tanggal 4 Januari. Dan tentunya dengan transit terlebih dahulu di Abu Dhabi.

Tibalah waktu penerbangan kami pada pukul 00.10 WIB menuju Abu Dhabi untuk transit dengan maskapai Ettihad Airways. Pesawatnya orang UEA.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di pesawa itu dan melihat ruangan pesawat itu, Maa syaa Allah. Takjub melihat pesawat yang berukuran sangat besar ini, dilengkapi dengan tiga bagian sisi kursi, di setiap sisi memiliki tiga buah kursi juga. Jadi, jika dihitung dalam satu baris maka dalam barisan itu memiliki sembilan buah kursi. Pesawat ini sangat besar dan berwibawa. Kemudian di atas kursinya tersedia sebuah bantal dengan ukuran lebar kursi dan selimut sederhana yang cukup untuk membuat hangat badan ketika dipakai. Saat dalam posisi duduk, kita juga melihat monitor kecil yang ada di hadapan kita yang fungsinya bisa digunakan untuk menonton film, mendengarkan musik, dan hiburan lainnya.
Layar monitor mini
Tampak bagian dalam pesawat
Selain fasilitas yang sangat lengkap dan mewah, kami juga disuguhi dengan makanan ringan yang membuat kami merasa tak asing dengan makanan ini. Makanan ringan ini sering kali kita temukan di warung-warung kecil. Diantaranya ada beng-beng dan lain-lain. Yang membuat kami terheran-heran, pesawat ini ternyata masih menyediakan makanan Indonesia, bukan makanan khas negeri Arab.

Perjalanan panjang telah banyak menguras tenaga kami. Akhirnya tibalah kami di Abu Dhabi dengan disapa oleh azan subuh yang telah siap menyambut kedatangan kami di bandara. Oh iya, jam di Abu Dhabi dengan Jakarta itu berbeda beberapa jam. Mungkin di Jakarta sudah pukul sepuluh pagi. Dilihat dari desainnya, bandara ini begitu besar dan megah. Mungkin ini tempat transit para pesawat lainnya dari berbagai negara. Megah nan mewah, tapi tak sempat berfoto untuk mengabadikan momen karena terkejar waktu sholat subuh yang sedikit lagi mau habis. Kemudian cuaca di sini bagaimana? panas? Alhamdulillah masih terasa sejuk seperti di Indonesia. Setelah selesai sholat, kami langsung ke ruang tunggu untuk menanti penerbangan selanjutnnya menuju Kairo, Mesir.

Jam dinding telah menyentuh angka sepuluh tepat, akhirnya tibalah penerbangan kami menuju Kairo dengan pesawat Ettihat juga. Saat pesawatnya sudah terbang, aku sama sekali tak mematikan hp, cukup hanya mengaktifakn mode penerbangannya. Aku tak mematikan hp karena ingin memotret kota Abu Dhabi dari atas.
Kota Abu Dhabi di sekitar bandara
Dan ternyata, Maa Syaa Allah! Tatanan dan susunan kota yang beitu rapih. Bentuknya seperti lingkaran dan memiliki pusat di tengah. Walaupun tak ada pohon yang rindang nan hijau seperti di Indonesia, kota ini sudah bisa disebut indah karena susunan letak setiap rumah. Kuning gersang, namun tetap indah. Sesuai dengan iklim nya. Jadi, setiap tempat memiliki kelebihan dan kekhasannya masing-masing.

Ya Rabb. Perjalanan ini sungguh panjang. Diriku langsung membayangkan bagaimana Ibnu Bathutah mengarungi dunia dengan hanya mengendarai kapal dan kuda serta kaki. Ia menaiki kapal, apa ia tak pusing dihadang oleh ombak dan terkadang badai besar? Ia berkuda, Apa ia tak punya lelah menunggangi kuda? Kita saja naik motor selama dua jam sudah membuat hati dan badan pegal-pegal. Ia jalan kaki, apa ia memili seribu kaki? tentu tidak kan?. Diriku hanya bisa merenung, apa ia tak tau kata lelah? kenapa ia bisa melakukan hal sejauh iitu? mungkin itu karena sebuah cinta. Cinta akan sesuatu hal yang dicintai. Seperti kata Syeikh Badiuzzaman Said Nursi, yang paling layak untuk dicintai ialah cinta itu sendiri, dan yang paling layak untuk dibenci ialah kebencian itu sendiri. Tidak secara maknanya.

Sampailah kepada intinya, Kairo. Saat di Abu Dhabi kami disambut oleh suara azan subuh, dan saat sampai Kairo pun kami disambut dengan lantunan merdu suara azan zuhur. Mendengarnya pun menambah kerinduan terhadap kisa sang Rasul SAW. Saat bilal sedang melantutkan kalimat-kalimat suci itu di atas masjid.

Tiba di Kairo, apa yang langsung kami lakukan? Gassssss langsung ke Masjid Al-Azhar. Mercusuar Ilmu pengetahuan di zaman dahulu hingga kini.
Masjid Al-Azhar
Masjid Al-Azhar

Komentar

Postingan Populer